Maret 26, 2014

Cuap-cuap di Laboratorium

 

Suatu kali aku berpikir ada sebuah pekerjaan yang amat menyenangkan karena rekan-rekan kerja yang cooperative, gaji yang tinggi, fasilitas kerja menunjang pekerjaan, dapat menumbuhkembangkan pengetahuanku setiap hari, dan hal-hal baik lainnya. Hal itulah yang aku inginkan untuk masa depanku. Bahkan aku ingin apa yang aku pelajari saat di institusi pendidikan dapat aku terapkan di dalam pekerjaanku nanti dengan baik. Jadi, tidak ada hal-hal yang sia-sia dalam belajar maupun bekerja. Sungguh, aku ingin berada di dalam situasi kerja yang kondusif dan mendukung satu sama lain.

Namun, kemudian muncul pertanyaan yang lain. Apakah ada situasi kerja semacam itu? Apakah yang aku inginkan itu hanya keinginan imajinatif? Aku menjadi ragu dengan apa yang aku inginkan karena ada kemungkinan situasi kerja yang kondusif dan produktif itu tidak ada. Selalu dapat ditemukan ketidaksesuaian di dalam pekerjaan kita. Akan selalu ada konflik diantara sesama rekan kerja, hubungan dengan pimpinan, maupun hubungan dengan anak buah.

Seketika aku memutuskan untuk berhenti sejenak memikirkan persoalan situasi kerja yang kondusif dan produktif. Aku kembali kepada tujuanku berada di dalam laboratorium, yaitu untuk mengumpulkan data guna penulisan tugas akhirku mengenai pengaruh perbedaan refrigerant pada nilai COP freezer dan daya listrik yang dikonsumsi. Akan lebih baik jika aku fokus pada tujuan utamaku menyelesaikan studi. Oleh karena itu, aku kembali pada observasi freezer.

Pada saat melakukan observasi, muncul suatu persoalan berkaitan dengan nilai temperatur air yang selalu berubah-ubah secara tidak konsisten. Awalnya aku ingin mengatakan bahwa nilai temperatur air di dalam evaporator adalah transient. Akan tetapi, temperatur air pada suatu saat berubah tidak konsisten sehingga kondisi steady state tidak dapat tercapai dalam waktu 8 jam. Apakah ada persoalan dengan alat ukur (thermometer dan thermostat) yang diterapkan pada air? Ataukah kondisi steady state tidak akan pernah tercapai? Kemudian pada akhirnya, rekanku dalam penelitian dan aku sendiri memutuskan untuk tetap melanjutkan pengambilan data dan setelah itu akan menemui dosen pembimbing penelitian untuk mendiskusikan persoalan tersebut.

Persoalan temperatur air yang berubah secara tidak konsisten itu membawa pikiranku kembali kepada persoalan situasi kerja yang kondusif dan produktif. Benarkah kondisi kondusif dan produktif di dalam lingkungan pekerjaan adalah kondisi ideal yang selalu menjadi tujuan dan tidak pernah ada dalam kehidupan nyata yang aktual? Toh, pada penelitian kami pun ada persoalan temperatur air yang berubah secara serampangan dan melanggar logika kami. Ataukah logika kami yang salah? Karena berdasarkan logika kami, air yang didinginkan pada temperatur di bawah 0 derajat Celcius akan berubah fase menjadi es. Apabila terus menerus didinginkan, maka temperatur es pun mengikuti penurunan suhu pada evaporator dan temperatur menjadi semakin rendah. Akan tetapi, fakta dalam penelitian kami menunjukan hasil yang berbeda. Setelah es mencapai suhu -6 derajat Celcius dan evaporator mencapai suhu -9 derajat Celcius, temperatur es perlahan meningkat! Padahal temperatur evaporator tercatat pada thermometer terus menurun. Posisi es berada di dalam evaporator yang direndam dengan cairan anti beku (brine) yaitu ethylene glycol. Temperatur ethylene glycol semakin menurun mengikuti temperatur evaporator. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kami belum menemukan jawaban untuk persoalan ini, bahkan hingga hari ini setelah kami berdiskusi dengan dosen pembimbing penelitian kami. Kami tetap mengikuti pedoman penelitian dan mencatat semua hasil yang muncul pada pengamatan kami. Kami belum dapat menyimpulkan penyebab ketidak-konsisten-an (inconsistency) temperatur air di dalam evaporator.

Hanya saja, aku terus berpikir bahwa kesempurnaan semata-mata hal yang ideal dan menjadi tolok ukur atau tujuan. Apabila kesempurnaan itu ada dan dapat terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin memerlukan waktu yang panjang untuk mencapainya, tentu tidak cukup hanya 8 jam. Tentunya juga jalan menuju kesempurnaan itu penuh dengan hambatan-hambatan karena tanpa hambatan kesempurnaan tidak pernah ada dan tidak perlu dipikirkan serta diusahakan.